Oleh Hepi Andi Bastoni, MA
Jika dalam hal fiqih yang kadang menghajatkan kepastian hukum, para ulama saling menghormati, apalagi masalah perbedaan pandangan politik. Di bidang yang tak selalu ‘hitam putih’ ini, umat Islam mestinya jauh lebih bisa saling menghargai.
Rabu, pekan terakhir Dzulqa’dah 5 Hijriyah. Matahari mulai meninggi. Rasulullah saw dan para sahabatnya berjalan pelan meninggalkan Khandaq. Perang Ahzab baru saja usai. Umat Islam keluar sebagai pemenang. Pasukan Sekutu yang jumlahnya mencapai 10 ribu prajurit terpaksa meninggalkan Madinah dengan tangan hampa setelah mengepung kota itu hampir sebulan. Mereka gagal menghabisi kaum Muslimin. Bahkan, dalam pertempuran yang lebih mengedepankan perang urat syaraf ini, korban Pasukan Ahzab lebih banyak, mencapai 10 orang. Sedangkan syahid dari umat Islam hanya enam orang.
Menjelang Zuhur, Rasulullah saw berjalan menuju rumah Ummu Salamah. Setelah membersihkan diri dan beristirahat sejenak lalu bersiap melaksanakan shalat Zuhur, saat itulah malaikat Jibril mendatangi beliau. “Apakah engkau akan meletakkan senjata, wahai Rasulullah?”
Rasulullah saw mengiyakan pertanyaan itu. Malaikat Jibril berkata lagi, “Para malaikat belum meletakkan senjata. Mereka sekarang sedang mengejar kaum tersebut (maksudnya Yahudi Bani Quraizhah yang telah berkhianat dengan membantu Pasukan Ahzab untuk menyerang kaum Muslimin, red). Hai Muhammad, sesungguhnya Allah SWT memerintahkanmu berangkat ke Bani Quraizhah. Aku juga akan pergi untuk mengguncang mereka.”
Usai melaksanakan shalat Zuhur bersama para sahabatnya, Rasulullah saw segera memberikan komando untuk mendatangi Bani Quraizhah. “Barangsiapa mendengar dan taat, jangan sekali-kali mengerjakan shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah,” ujar beliau menutup instruksinya.
Rasulullah saw menunjuk Ali bin Abi Thalib di depan barisan dengan membawa bendera perang. Informasi yang diberikan malaikat Jibril benar. Ketika Ali bin Abi Thalib dan pasukannya hampir mendekati benteng-benteng Bani Quraizhah, mereka mendengar orang-orang Yahudi itu mencaci maki Rasulullah saw.
Rasulullah saw berangkat menyusul bersama kaum Anshar dan Muhajirin. Mereka sempat beristirahat di salah satu sumur Bani Quraizhah di samping kebun mereka bernama Sumur Anna. Sebagian kaum Muslimin terus bergegas menuju pemukiman Bani Quraizhah. Ketika waktu Ashar tiba, mereka masih dalam perjalanan.
Saat itu terjadi perbedaan pendapat. Mereka ingat dengan pesan Nabi saw yang berbunyi, “Barangsiapa mendengar dan taat, jangan sekali-kali mengerjakan shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah.”
Sebagian dari pasukan kaum Muslimin tidak melaksanakan shalat Ashar. Bahkan sebagian riwayat mengatakan, ada di antara mereka yang melaksanakan shalat Ashar setelah Isya di perkampungan Bani Quraizhah.
Namun sebagian lain melaksanakan shalat Ashar di perjalanan. Ungkapan Nabi yang mengatakan, “Jangan sekali-kali mengerjakan shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah,” dipahami agar mereka bersegera menuju perkampungan Bani Quraizhah sehingga bisa melaksanakan shalat Ashar di tempat itu.
Ketika hal itu diketahui oleh Rasulullah saw, beliau tidak mempermasalahkannya. Beliau mendiamkan dan tidak menyalahkan salah satu dari dua pendapat itu. Demikianlah, pasukan Islam bergerak menuju Bani Quraizhah hingga disusul oleh pasukan Nabi saw. Mereka berjumlah tiga ribu orang dan membawa 30 ekor kuda. Pasukan kaum Muslimin tiba di perkampungan Bani Quraizhah dan mengepung tempat itu.
Pengepungan berlangsung hingga 25 hari. Yahudi Bani Quraizhah dilanda ketakutan luar biasa. Mereka tak memberikan perlawanan sama sekali. Pimpinan mereka, Ka’ab bin Asad sempat memberikan pilihan kepada teman-temannya dengan tiga opsi: masuk Islam, membunuhi anak-anak dan wanita mereka sendiri lalu menghunus pedang menyerang kaum Muslimin, atau melanggar kedamaian hari Sabtu dengan cara menyerbu umat Islam secara tiba-tiba.
Dari tiga hal itu tak ada yang dipilih Bani Quraizhah. Mereka dilanda ketakutan yang mencekam dan akhirnya bersepakat untuk menyerahkan diri sambil menanti keputusan Nabi saw.
Untuk memberikan keputusan atas para pengkhianat ini, Nabi saw menyerahkannya kepada Sa’ad bin Muadz yang merupakan sekutu Bani Quraizhah. Kala itu sahabat Nabi saw ini sedang sakit akibat luka-luka pada Perang Ahzab. Saat akan memberikan keputusan, beberapa orang sempat menyarankan agar berbuat baik kepada orang-orang Yahudi tersebut. Tapi hal itu tak menghalangi Sa’ad untuk menjalankan hukum Allah dengan tegas. Maka, dengan suara lantang Sa’ad memutuskan, “Tentang Bani Quraizhah, aku putuskan bahwa laki-laki dari mereka harus dibunuh, kekayaan mereka dibagi-bagi, dan anak-anak serta wanita-wanita ditawan.”
“Sungguh engkau telah memutuskan perkara dengan hukum Allah dari atas tujuh langit,” ujar Nabi saw mengomentari keputusan Sa’ad.
Demikianlah, para pengkhianat itu dijatuhi hukuman mati. Hampir sembilan ratus orang dipenggal kepalanya dan dimasukkan ke dalam parit yang sudah disiapkan sebelumnya.
Banyak sisi yang bisa kita ambil sebagai hikmah di balik Perang Bani Quraizhah ini. Selain ketegasan Nabi saw dan para sahabatnya saat menghadapi orang-orang Yahudi, kita juga belajar kebijaksanaan Rasulullah saw. Pertama, kebijakan beliau dalam memberikan keputusan atas orang-orang Yahudi. Beliau tidak memutuskan sendiri, tapi meminta sahabatnya Sa’ad bin Muadz, sebagai orang yang dianggap cukup dekat dengan Bani Quraizhah.
Kedua—dan sisi ini yang sering dilupakan, kebijaksanaan Nabi dalam menyikapi perbedaan para sahabatnya saat memahami instruksi beliau. Dalam hal ini contohnya ungkapan beliau yang menyatakan agar para sahabatnya tidak shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah.
Meski nash hadits itu dianggap sangat jelas bagi sebagian para sahabat, tapi tetap saja membuka peluang perbedaan pendapat. Sebagian memahami teks ungkapan beliau itu apa adanya, yakni agar mereka shalat Ashar di Bani Quraizhah. Namun sebagian lain justru memahami ‘spirit’ ucapan beliau yang menghendaki agar mereka berjalan lebih cepat supaya tiba di Bani Quraizhah sebelum waktu Ashar lewat.
Menyikapi dua perbedaan itu, Nabi saw tak menyalahkan mereka. Beliau menghormati perbedaaan itu. Hal tersebut memberikan isyarat bahwa dalam memahami teks, baik al-Qur’an maupun Hadits, peluang perbedaan pendapat itu memang terbuka.
Pada peristiwa lain kita bisa lihat toleransi Nabi saw menyikapi perbedaan pendapat. Dalam Fiqih Sunnah-nya (Jilid I/89) pada bab Hal-hal yang Membatalkan Tayamum, Sayyid Sabiq menceritakan ulang hadits dari Abu Said al-Khudri. Diriwayatkan, suatu ketika dua laki-laki melakukan perjalanan. Ketika waktu shalat tiba, keduanya tak mendapatkan air. Maka, mereka pun bertayamum. Tak lama kemudian, keduanya mendapatkan air—setelah shalat. Lalu, salah seorang di antara keduanya mengulang shalat dengan berwudhu. Sementara temannya tidak mengulangi lagi shalatnya.
Ketika bertemu Nabi saw, keduanya memaparkan perbedaan pendapat itu. Kepada yang tidak mengulang shalatnya, Nabi saw bersabda, “Engkau telah menepati sunnah dan shalatmu sah.“ Adapun kepada laki-laki yang berwudhu dan mengulang shalatnya, Nabi saw bersabda, “Anda mendapatkan dua pahala.“ (HR Abu Daud dan Nasai).
Nabi saw membenarkan dua pendapat yang berbeda. Nah, kalau perbedaan pendapat itu bisa terjadi ketika Nabi saw masih hidup, apalagi setelah beliau wafat. Peluang itu pasti akan terbuka lebar. Sikap umat Islam dalam menghadapi perbedaan pendapat ini mesti arif dan bijak selagi masih dalam koridor yang dibenarkan. Dalam konteks kisah di atas, kedua belah pihak tetap melaksanakan shalat, sebagian di tengah perjalanan, sebagian lagi di perkampungan Bani Quraizhah.
Pilihan hukum dalam hal furu’iyah (cabang) tak harus selalu sunnah atau bid’ah, tapi bisa jadi rajih (kuat) dan marjuh (yang dikuatkan). Mengamalkan yang marjuh bisa menjadi pilihan jika membawa kemaslahatan. Ini bukan plin-plan, tapi cerminan sikap bijak dan cerdas.
Jika dalam hal fiqih yang kadang menghajatkan kepastian hukum, para ulama saling menghormati, apalagi masalah perbedaan pandangan politik. Di bidang yang tak selalu ‘hitam putih’ ini, umat Islam semestinya jauh lebih bisa saling menghargai. Ijitihad politik yang senantiasa dinamis sesuai konteks zaman dan waktu, pasti akan membuka peluang perbedaan yang begitu terbuka. Perbedaan tempat dan kondisi kerap tak bisa men-general-kan keputusan.
Untuk itu, umat Islam dituntut agar saling menghormati pendapat, khususnya dalam berpolitik.
sumber : www.republika.co.id