Agus, Dulu Perambah Kini Pembina

ARUM TRESNANING DAYUPUTRI/KOMPAS IMAGES Rusaknya daratan di hulu Sungai Cisanti, Bandung Selatan, sejak 1990-an hingga saat ini berpengaruh besar pada asuan air bagi Sungai Citarum yang juga terkena sedimentasi. BANDUNG, KOMPAS - Rusaknya daratan di hulu Sungai Cisanti, Bandung Selatan, sejak 1990-an hingga saat ini membuat Agus Darajat (44) sadar. Mantan perambah hutan itu kini aktif menyadarkan petani sayuran semusim lain untuk melestarikan daerah penghasil air bagi Sungai Citarum itu. Warna Gunung Wayang kelihatannya cuma cokelat, pohon habis ditebang. Danau Cisanti surut, penuh sedimentasi. -- Agus DarajatAgus masih ingat betul kondisi hutan di kaki Gunung Wayang, hulu Cisanti, lebat ditumbuhi pohon di sekitar tahun 1987. Saat itu belum ada perambah yang membabat pohon untuk dijadikan lahan pertanian."Gunung Wayang masih serem waktu itu," kata Agus kepada tim Ekspedisi Sungai Citarum pertengahan Maret 2011 lalu.Satu tahun kemudian, Agus dan para petani lain mulai masuk ke kawasan petak 73 milik Perhutani. Tak tanggung-tanggung, ia merambah hutan hingga 15 hektare. Masih sedikitnya jumlah penduduk saat itu membuat Agus dan warga lain dapat memiliki lahan garapan luas.Omset bertani sayuran semusim yang besar membuat warga tergiur. Sebagai contoh, kata Agus, satu hektare dapat menghasilkan kentang hingga 15-20 ton. Komoditas unggulan lain di situ adalah kubis, wortel, dan daun bawang.Warga dari daerah lain kemudian masuk dan ikut merambah hutan hingga semakin tak terkendali. Akhirnya, jumlah penduduk pun tidak sebanding dengan lahan yang ada. Aktivitas itu, kata Agus, terjadi hingga tahun 2002."Warna Gunung Wayang kelihatannya cuma cokelat, pohon habis ditebang. Danau Cisanti surut, penuh sedimentasi. Pemerintah tahun 90-an masih pakai cara-cara represif. Tentara nginap di atas, masyarakat dipaksa turun. Tentara pergi, masyarakat naik lain. Jadi, enggak berhasil," cerita Agus.Melihat kondisi hulu Cisanti begitu memprihatinkan, Agus lalu sadar dan mengajak para pimpinan petani berubah. Mereka kemudian membuat Forum Petak 73. Forum itu dijadikan wadah untuk menampung aspirasi petani sebelum diteruskan ke pemerintah."Waktu itu aspirasi petani mau turun dan tinggalkan perambahan. Tapi kami diberi apa? Pemerintah tanya petani mau apa? Kami jawab kami mau sapi. Lalu, muncul program alih profesi, alih komoditi, alih lokasi," papar suami dari Elit Siti M (41) dan ayah dari lima putri, yakni Rihana (2,5), Bela (6), Sofia (12), Eva (15), dan Anggi (20) imi."Pemerintah kasih domba 580 ekor. Satu petani dapat 11 ekor. Itu jumlah yang pas buat berternak. Tapi terjadi permasalahan, karena enggak semua petani dapat. Dari pada ribut, kita bagi rata dombanya, jadi masing-masing dua ekor. Pikiran saya yang penting mereka turun dulu. Tapi, akhirnya malah dijual," tambah Agus.Setelah para perambah turun, lanjut guru SD Tarumajaya itu, ratusan warga tak memiliki mata pencaharian. Akibatnya, saat itu ia mendapat julukan pembunuh petani. Bahkan, rumahnya sempat dilempari batu oleh petani. Yang lebih menyakitkan, ucap Agus, para petani memindahkan anaknya dari sekolah tempat dia mengajar.Wadah pembinaan Tahun 2003, Agus dan para petani lain membentuk wadah pembinaan yang diberi nama Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Tarumajaya. Ia sendiri ditunjuk sebagai ketua hingga saat ini.Program utama LMDH saat itu adalah membina petani untuk perlahan beralih dari bertani sayuran semusim yang minim meresap air dengan komoditas lebih ramah lingkungan. LMDH menawarkan beberapa komoditas seperti kopi, terongkori, daun murbei, teh. Selain itu, petani juga dicarikan lahan lain di luar lahan milik Perhutani.Hasilnya, 334 keluarga petani yang dulu merambah hutan di sekitar Gunung Wayang itu kini tak lagi menggarap kawasan seluas 265 hektare tersebut.

Artikel yang Berkaitan

Posted in: Berita