Oleh: Ahmad Syahirul Alim
Seorang utusan Romawi tengah mencari istana Khalifah Umar bin Khattab untuk sebuah urusan. Setelah beberapa saat tak menemukan istana tersebut, ia akhirnya bertanya kepada orang-orang. Saat ia menanyakan di mana istananya, mereka menjawab: "Ia tidak punya istana." Lalu, ia bertanya di mana bentengnya. "Tidak ada," jawab mereka.
Kemudian, mereka menunjukkan rumah Sang Khalifah yang terlihat seperti rumah kaum tak berpunya. Lantas, ia mendatanginya dan menanyakan keberadaan Amirul Mukminin. Alangkah terkejutnya ia saat mendengar jawaban dari keluarga Umar: "Itu dia di sana sedang tertidur di bawah pohon."
Tentu bukan tanpa alasan bagi seorang dengan gelar Amirul Mukminin (pemimpin kaum Mukmin) yang kekuasaannya terbentang dari Mesir sampai Irak untuk memilih sebatang pohon sebagai istananya.
Selain agar rakyat dapat dengan mudah menemui dan mengadu padanya, juga karena ia mempelajari hal itu dari Sang Teladan, Nabi Muhammad SAW.
Dahulu, Umar pernah menemui Nabi SAW ketika beliau bangun dari pelepah kurma tempatnya berbaring. Umar melihat guratan pelepah kurma membekas di punggung Nabi SAW. Ia pun menangis. Dengan lembut Nabi SAW bertanya: "Apa yang membuatmu menangis?" Umar menjawab: "Wahai Rasulullah, sungguh Raja Kisra dan Kaisar Romawi dalam keadaan (kafir). Mereka (bergelimang harta), sedang Engkau ialah Utusan Allah (tetapi tidak memiliki apa-apa)." Dengan bijak Nabi SAW bersabda: "Wahai Umar, tidakkah engkau rida jika mereka mendapat dunia dan bagi kita akhirat?" Pelajaran ini tidak pernah dilupakan oleh Umar seumur hidupnya.
Umar bukannya tidak mampu untuk membangun istana atau hidup mewah bak seorang raja. Tetapi, Umar lebih memilih kesederhanaan sebagai perhiasan dirinya.
Bagaimana tidak, ia adalah khalifah yang memperoleh gaji hanya sebatas kebutuhan pokoknya, memakan roti yang hampir mengeras, dan memiliki dua belas tambalan pada pakaian lusuhnya. Ia adalah pemimpin yang bergantian mengendarai keledai bersama budaknya dalam penaklukkan Kota Al-Quds.
Sungguh, Umar telah mengajarkan kepada kita bahwa menjadi pemimpin tak harus bergelimang fasilitas. Maka, ia pun tidak pernah menuntut berbagai fasilitas untuk tugas kepemimpinannya. Karena ia tahu, fasilitas-fasilitas yang ia nikmati tidak lain hanyalah ujian yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak. Wallahu 'alam bish shawab.