REPUBLIKA, NEW York - Melihat keluarga Danny Herman de Annan, kita seperti melihat keluarga Amerika kebanyakan. Pagi mereka dimulai pukul 06.30. Mereka sarapan pagi bersama, sebelum semua anggota keluarga bubar jalan ke tempat aktivitas masing-masing. Yang membedakan: begitu bangun, seluruh anggota keluarga berwudlu untuk kemudian shalat subuh bersama.
Bagi De Annan, keluarga adalah surga di dunia baginya. Membentuk keluarga seperti sekarang, tak pernah ada dalam bayangannya.
Danny Herman de Annan, kini 33 tahun, lahir di Queens, New York. Ayah dan ibunya berkewarganegaraan Puerto Rico, yang membesarkan anak-anaknya sebagai seorang Katolik.
Besar di AS, de Annan sempat mengalami "salah gaul". Ia bergabung dengan geng remaja dan kerap melakukan kejahatan jalanan. Satu kasus mengantarkannya mendekam di penjara.
Berada di balik dinding penjara, de Annan mempunyai banyak waktu untuk merenung. "Saya di sini. Hidup dalam kandang seperti hewan," katanya menceritakan pergulatan batinnya saat itu. "Saya tidak ingin seperti ini lagi."
Di penjara, ia mulai mengenal Tuhan. Ia belajar banyak agama dari sesama tahanan. Ia juga punya lebih banyak waktu untuk menelaah beberapa bacaan.
Perubahan yang signifikan dalam hidupnya, dimulai saat ia membaca Alquran yang diam-diam dicurinya dari perpustakaan penjara. Lama ia merenungi terjemahan Alquran itu. Dalam benaknya, ia mulai mengakui dan cocok dengan konsep ketuhanan dalam Islam.
Hidayah ditindaklanjutinya setelah masa hukumannya selesai. Ia rajin mendatangi diskusi keislaman. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk menerima Islam.
Pada saat itu Danny sudah mulai berhenti minum dan merokok. Seorang teman memperkenalkannya kepada para pemimpin agama di Islam Education Center di North Bergen.
Proses pengislamannya lumayan unik. Para imam di islamic Center itu tak serta merta menuruti keinginan de Annan untuk masuk Islam. Mereka ingin, ia berislam dengan kesungguhan hati, bukan karena terbawa suasana atau emosi.
Ketika itu, semua orang di ruang shalat, mengatur barisan shalat. Danny diinstruksikan untuk duduk dan melihat saja. Namun ia tergerak. "Saya tidak mau menunggu sembilan bulan lagi dengan hanya menonton orang lain shalat sementara saya tidak," katanya. Ia pun minta diislamkan sebelum shalat dimulai. Sejam kemudian, dia ada di dalam barisan shaf, menunaikan shalat.
De Annan menggunakan nama Muslim Abdullah, atau 'hamba Allah' dan mulai memperkenalkan Islam kepada orang tua dan saudara. Mereka kini memeluk Islam.
Beberapa tahun setelah menjadi Muslim, de Annan menemukan tambatan hatinya, seorang mualaf kelahiran Amerika Serikat, Mark Lay. Dengan Lay lah, ia kini bahu-membahu menjaga "surga" mereka; rumah tangga dengan tiga anak.